Monday, May 4, 2020

The Fate of Food: What We'll Eat in a Bigger, Hotter, Smarter World by Amanda Little


The Fate of Food: What We'll Eat in a Bigger, Hotter, Smarter World
Author: Amanda Little

Hardcover, 352 pages
Published June 4th 2019 by Harmony

Lingkungan mengalami perubahan yang sangat drastis. Selain itu, populasi dunia diperkirakan terus tumbuh, hingga mencapai 10 miliar  orang pada tahun 2050.  Dengan keadaan seperti ini, kebutuhan pasokan makanan kita tidak akan cukup di masa mendatang. Buku ini menceritakan bagaimana makanan disuplai secara masif. Peneliti, petani, dan aktivis berusaha untuk menemukan solusi untuk ketersediaan bahan pangan di masa mendatang.

Teknik pertanian modern adalah kontributor utama krisis ekologi kita saat ini

Selama beraabad-abad, pertanian berubah menjadi industri yang digerakkan oleh laba. Sejarah panjang inovasi ini memuncak dalam Revolusi Hijau "Green Revolution" setelah Perang Dunia ke-2.

Berbagai metode dilakukan, seperti menggunakan jenis pestisida yang baru, teknik irigasi yang berbeda, dan benih hibrida digabungkan untuk meningkatkan pasokan pangan global hingga 200%. Akan tetapi, Revolusi Hijau ini jelas memiliki beberapa konsekuensi seperti:
1. Fertilisasi benih (contoh kasusnya sama seperti semangka tanpa biji, dll)
2. Herbisida dan pestisida dapat merusak kehidupan biota air, tanah humus, dan lebah. Hal ini menyebabkan tanaman menjadi resisten terhadap pestisida. Sehingga petani terpaksa menggunakan dosis bahan kimia yang lebih kuat untuk melawannya.
3. Perubahan iklim. Industri pertanian setidaknya menyumbang seperlima dari total emisi gas rumah kaca setiap tahunnya.

Revolusi Hijau jelas "gagal" untuk menyelesaikan krisis ekologi kita saat ini. Sehingga perlu adanya kombinasi antara teknologi dan tradisi.

Cuaca ekstrem yang semakin meningkat menghancurkan industri buah

Buah merupakan salah satu tanaman yang paling rentan terhadap cuaca ekstrem, sehingga dapat menghancurkan industri buah. Para peneliti di Michigan State University meneliti lebih dari satu abad untuk mengumpulkan data tentang cuaca. Sebelum tahun 1940, terdapat kurang lebih sepuluh pembekuan buah-buahan pada musim semi per tahun. Setelah itu, terdapat kelonjakan pembekuan buah-buahan menjadi hampir 20.

Pembekuan yang berlebihan ini memberikan efek buruk terhadap buah-buahan, terutama pada buah ceri, apel, dan persik yang membutuhkan keseimbangan suhu untuk berkembang dengan baik.  Pada tahun 2016, pohon persik di New Hampshire, Connecticut, dan pulau Rhode mekar satu bulan lebih awal dari jadwal biasanya. Panen yang terlalu cepat ini memberikan kerugian hingga 100% bagi industri buah. Bukan hanya itu, lahan pertanian di California yang dulunya kaya dan subur telah dilanda kekeringan dahsyat yang mempengaruhi pertumbuhan sroberi, anggur, almond, dan tanaman lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Peristiwa serupa juga terjadi di seluruh dunia. Hingga saat ini para ahli hortikultura berupaya untuk mengembangbiakkan pohon-pohon baru yang dapat bertahan dalam cuaca ekstrem.

Kemajuan teknologi memainkan peran penting dalam menangani permasalahan kekeringan

Salah satu solusi yang mungkin adalah mengembangkan organisme yang dimodifikasi secara genetik/transgenik (disebut dengan GMO). WHO  memberikan pendapat bahwa transgenik tidak menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia. Di Kenya, Afrika terkenal rawan terhadap pangan. Pada tahun 2012, pemerintah Kenya melarang penggunaan tanaman transgenik. Akan tetapi, pemerintah sedang mempertimbangkan kembali keputusannya tersebut setelah dilakukan modifikasi jagung secara genetik oleh peneliti. Benih jagung direkayasa supaya tahan terhadap hama dan kekeringan. Sejauh ini tanaman tersebut telah dikembangbiakkan dan menghasilkan tanaman yang tahan terhadap hama, menghasilkan panen yang lebih besar, dan mengurangi penggunaan pestisida

Saat ini, peneliti "masih" merekayasa tanaman baru yang dapat bertahan hidup dengan air yang sangat minim. Tantangan lainnya adalah menciptakan lahan pertanian subur yang baru melalui irigasi. Israel adalah salah satu negara yang maju dalam bidang ini. Walaupun Israel merupakan negara padang pasir yang gersang, namun Israel telah menjadi swasembada pangan berkat teknik irigasi berteknologi tinggi berupa desalinating air laut bahkan daur ulang air limbah.
"Ketika air sangat berharga, kita tidak dapat membuang satu tetes pun"
Itulah sebabnya Israel telah berinvestasi dalam perangkat lunak untuk memantau setiap aspek yang berhubungan dengan air. Software dirancang untuk menangkap kebocoran kecil pada pipa sebelum pecah sehingga Israel hanya kehilangan sekitar pasokan air sebanyak 10% pada pipa yang rusak. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, kehilangan pasokan air lebih tinggi sebanyak 30% setiap tahun.

Sistem yang digunakan Israel adalah pencapaian yang bagus tetapi juga mahal. Meskipun telah diadopsi oleh kota-kota di seluruh dunia yang mampu membelinya, harga yang tinggi merupakan PR untuk menemukan cara baru yang tentunya lebih murah dalam menghasilkan makanan dengan air sedikit.

"Indoor Farming", perkembangan baru di bidang pertanian yang menjanjikan

Ketika populasi dunia meningkat, jumlah lahan pertanian yang tersedia semakin berkurang. Jika sebelumnya kita membahas bagaimana perkembangan tanaman di lingkungan yang baru, kali ini kita akan membahas "Indoor Farming", yakni bagaimana mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman. Indoor farming sangat populer di Belanda, dimana medannya tidak cocok untuk bertani dan di Jepang, dimana pada tahun 2011 pernah terjadi kecelakaan di pabrik nuklir Fukushima.

Walaupun dengan segala kelebihannya, "Indoor Farming" memiliki sejumlah kelemahan yang signifikan, yakni:
1. Cahaya buatan yang dibutuhkan untuk tanaman, menghabiskan konsumsi energi sangat tinggi
2. Rumah kaca mengundang kritik karena menghasilkan ribuan ton sampah plastik dan sampah pertanian
3. Beberapa komoditas seperti jagung, gandum, beras, dan kedelai terus tumbuh dengan cara konvensional. Metode "Indoor Farming" ini tidak dapat diterapkan pada semua jenis tanaman.

Industri daging berada di belakang inovasi teknologi paling radikal di bidang pertanian

Hanya 2% dari ketersediaan pangan berasal dari lautan. Namun, pendukung perikanan percaya bahwa masa depan makanan terletak di bawah laut. Perkembangan berkelanjutan dalam bidang perikanan cenderung sangat sulit. Hal ini dikarenakan adanya penangkapan ikan yang berlebihan sehingga mempengaruhi spesies ikan di laut. Suhu laut yang memanas akibat "Global Warming" juga menjadi faktor yang sangat signifikan dalam pertumbuhan ikan di laut. Oleh karena itu, pembudidaya ikan mulai beralih dengan menggunakan teknologi. Budidaya ikan salmon di Norwegia menggunakan teknologi dengan sistem lingkungan yang tertutup untuk melindungi salmon dari suhu panas, parasit, dan limbah. Ketika lingkungan pada industri perikanan konvensional mulai rusak, maka sistem seperti ini akan menjadi sangat penting.

Industri daging lainnya seperti sapi, unggas, babi, dan lainnya juga menggunkan teknologi untuk menciptakan "daging alternatif".  Memphis Meats yang berbasis Silicon Valley diproduksi oleh ahli biologi di laboratorium dengan menggunakan sample daging pada jaringan otot, lemak, dan jaringan ikat. Produk yang dihasilkan rasanya persis seperti daging sapi atau unggas yang biasa kita gunakan. Namun, teknologi ini tidak sepenuhnya dapat kita gunakan untuk menggantikan hewan. Oleh karenanya, penting sekali untuk meningkatkan industri daging dengan meningkatkan perlakuan terhadap hewan yang lebih manusiawi, ramah lingkungan, dan efisien.

Limbah makanan adalah masalah yang tidak dapat diatasi

Setiap tahun, Amerika Serikat membuang 52 juta ton makanan. Lebih dari 10 juta ton dibuang di pertanian sebelum didistribusikan. Ini adalah masalah yang besar. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Limbah makanan adalah masalah yang sulit untuk dipecahkan karena sebagian besar makanan akan berakhir di tempat pembuangan sampah. Ironisnya, orang-orang yang mencoba makan makanan yang lebih sehat dan segar seringkali menyumbang sampah makanan yang lebih banyak. Mereka ingin mencoba sesuatu yang baru dan terpaku pada estetika makanan seringkali juga menghambur-hamburkan makanan. Jika makanannya tidak berbentuk, memiliki rasa yang tidak enak, sedikit memar, atau berubah warna, mereka tidak akan memakannya.

Menghilangkan sisa makanan dimulai dengan pencegahan. Tidak semua produk makanan yang jelek bisa langsung dibuang. Periksa terlebih dahulu apakah makan tersebut masih layak dimakan atau tidak. Langkah selanjutnya adalah "Food Rescue". Kopenhagen, London, dan kota-kota lainnya di seluruh dunia telah meluncurkan program untuk menghubungkan restoran dan pasar dengan tempat penampungan bank makanan. Ini membantu untuk "menyelamatkan makanan" yang tidak terjual kepada mereka yang lebih membutuhkan. Hal ini juga bisa kalian lakukan ketika ada makanan lebih di rumah dengan memberikannya kepada tetangga.

Tidak peduli seberapa keras kita mencoba, beberapa makanan akan menjadi sia-sia. Ketika itu terjadi, pengomposan menjadi langkah terakhir. Banyak orang yang percaya bahwa pengomposan dapat menyelesaikan masalah. Akan tetapi nyatanya tidak dikarenakan pengomposan juga meningkatkan limbah makanan. Sehingga pencegahan harus selalu didahulukan.
Limbah makanan tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Kesadaran sebelum membuang makanan adalah kunci penting
Ada cara lain untuk menghilangkan sisa makanan, yakni dengan membeli buah-buahan dan sayuran beku sebagai pengganti yang segar. Terutama jika anda berpikir untuk tidak menggunakannya segera. Nilai nutrisinya sama dan tidak akan memburuk.


No comments:

Post a Comment